Ada sebuah paradigma yang kurang lebih berbunyi seperti ini, “malam…tidur untuk istirahat” dan “siang untuk bangun berusaha”.
Tentu, kaidah ini bagi sebagian kurang mengena, tapi bagi saya ini justru sangat mengena.
Tubuh kita ini ada batasnya. Pada umumnya, siang hari di mana pun di dunia ini, penerangan dari matahari membuat tubuh berfungsi sesuai batasnya. Tubuh yang memiliki mata, dan panca indera dapat difungsikan dengan baik untuk beraktivitas untuk bangun dan berusaha.
Sebagai penerjemah yang mengglobal, yakni klien dan pelanggannya berada di luar Indonesia, batas waktu terkadang menggoda diri untuk memaksa batas tubuh melayani permintaan.
Dengan kata lain, apabila kita di Indonesia sudah mencapai waktu malam hari, di belahan lain di dunia, kegiatan untuk berusaha baru saja dimulai, tentu konsekuensinya, terkadang kita harus memiliki jam biologis dengan irama klien atau pelanggan. Dan paradigma tersebut harus kita kompromikan, untuk beberapa kali mungkin bisa ditolerir.
Namun, untuk selamanya tubuh berfungsi, saya sangsi. Jangan paksakan.
Formula ini mungkin akan pas untuk mereka yang baru memulai. Ada istilah “mengalong” menjadi kalong, di kalangan para penerjemah. Menjaga gawang demi sesuap nasi dengan mengalong di malam hari, menanti permintaan dan mengatasinya dengan pasokan di malam hari juga. Ini perlu dicoba untuk bisa menggulirkan karier di bidang ini. Tapi, tuntutan tubuh juga perlu diperhatikan.
Semoga paradigma yang abadi ini bisa kita implementasikan dalam menjalankan kegiatan berusaha ini.
Mari!